Senin, 02 Maret 2009

Memikirkan Ulang Tujuan Pendidikan

Oleh: Aceng Abdul Kodir*

Akhir-akhir ini, nampaknya bandul dunia pendidikan di tanah air bergerak semakin melenceng dari koridor kemestiannya. Gelagat ini bisa dibaca pada fenomena semakin menggejalanya praktik-praktik amoral di dalamn institusi dan ruang sosial pendidikan, terlebih menjelang dilaksanakannya Ujian Nasional (UN), banyak sekolah baik negeri terlebih swasta ‘banting setir’ sekuat tenaga berupaya bagaimana anak didiknya bisa lulus dalam menghadapi UN dengan modal ekonomi, sosial, jejaring birokrasi, komposisi pendidik dan medium lain yang dimiliki. Agenda besar yang menggerakan sekolah saat ini adalah bagaimana modal-modal tersebut bisa dibaca secara apik dan rapi kemudian ‘diberdayakan’ dalam pamrih meluluskan anak didik. Barangkali di ruang serba dilematis inilah ‘naluri keguruan’ pendidik dipertaruhkan.

Mestinya, fenomena ini mesti dibaca secara jeli sebagai sebuah ‘akibat’ dari ‘sebab-sebab’ tak berjejak. ‘Sebab’ itu, di antaranya cara pandang mekanis-materialis seorang pendidik terhadap anak didik, yakni anak didik diposisikan sebagai hanya ‘sesosok daging’ yang dapat dilihat dan dipegang, karenanya tidak memiliki kualitas-kualitas rohaniah dan kejiwaan nan halus. Cara pandang ini, hakikatnya semakin mengukuhkan sekolah, sebagai tak ubahnya ‘pabrik-pabrik elit’ yang memerkosa hak-hak anak didik, bahkan lebih dari sekadar itu mengeksploitasi potensi kemanusiaannya, terjadi apa yang disebut dehumanisasi terstruktur dan sistematis dalam sebuah pabrik bernama ‘sekolah’. Tentu siapa pun tidak menyangsikan lagi, out put yang dihasilkan dari mekanisme semacam ini adalah anak didik dengan sembarang perilaku, bahasa tubuh dan ‘cara memandang’ terhadap realitas yang tergelar di depannya, yang tidak nyakola.

Selama mengajar, penulis sempat didatangi orang tua siswa, yang mengeluh menyoal pesimisme akut jika anaknya tidak lulus Ujian Nasional. Dari gelagat pembicaraannya nampak bahwa yang terpenting bagi si ibu ketika itu adalah anaknya bisa lulus UN. Tidak terpikirkan olehnya atauy tidak mau memikirkan lebih mendalam bahwa kesuksesan anak didik tidak sekonyong-konyong dicirikan oleh kemampuannya menembus standar minimal nilai UN yang sifatnya kuantitaif. Dalam ideal-perspektif kaum cerdik cendekia masyarakat Sunda kesuksesan proses pendidikan termuat dalam jargon cageur, pinteur, bageur yang bahkan menjadi filsafat hidup dan kehidupan ‘unik’ masyarakat Sunda pada umumnya.

Kesehatan menjadi kata kunci pertama suksesnya pendidikan, tidak hanya menyangkut fisik-ragawi tapi terlebih dalam domain mental-psikologis. Usaha-usaha pemisahan antara fisik-ragawi dan rohani-kejiwaan justeru akan mereduksi keutuhan dan keunikan manusia dan kemanusiaannya. Selanjutnya harus pintar secara kognitif, mampu memberdayakan potensi nalarnya untuk mencerna, dan mengolah ‘penampakan-penampakan ilahiah’ yang tersebar di alam semesta untuk diinduksi menjadi teori-teori pengetahuan. Dialektika antara nalar dan akal dengan alam semesta akan melahirkan sintesa-sintesa baru, yang tentu akan nampak berbeda dab baru ketimbang capaian sebelumnya. Yang terakhir, peserta didik harus memiliki moralitas yang luhur sebagai cermin dari pencapaian kearifan hidup dan kehidupan. Dianalogikan dengan padi, maka semakin bertambah ilmu dan pengetahuan peserta didik semakin merunduk dan merasa tidak tahu, ia sadar dan tahu bahwa ‘ia tida tahu’ tentang berbagai hal yang diselenggarakan Tuhan di alam semesta ini. Maka bageur merupakan puncak moralitas kemanusiaan peserta didik, tanpanya dunia pendidikan hanya lembaga biasa yang hanya memerhatikan keuntungan secara material.

Makanya seluruh stakeholder yang terkait di dunia pendidikan mesti mengawal agenda dan tujuan pendidikan secara berkesinambungan dan konsisten. Tujuan inilah yang kelak menjadi starting point para pendidik kapan dan di manapun ‘merekayasa’ seluruh potensi anak didik sampai benar-benar tersalurkan menjadi kecapakan diri.

Anak didik, paling tidak harus diposisikan sebagai, pertama, makhluk spiritual, karenanya ia harus diajari cara berkomunikasi dengan Allah Swt, secara baik dan benar (ibadah mahdhah), kedua, makhluk sosial, harus diajari etika sosial, dan logika kehidupan bermasyarakat, ketiga, zhoon politicon, maka anak didik harus dikenalkan berbagai sistem birokrasi beserta etika-etika santun di dalamnya. Kelak ketika anak didik sudah dewasa dan menjadi bagian integral sebuah komunitas akan dinominasikan sebagai yang shaleh secara ritual, sosial dan struktural. Tiga domain kehidupan manusia ini harus disisi secara baik dan benar dengan cara dipersiapkan dan diajarkan sejak mereka kecil, di bangku sekolah, sehingga kelak akan mengisi ruang-ruang tersebut dalam kerangka kepatuhan dan kehambaan kepada Allah Swt, dan kerja-kerja sosial yang visinya utamanya mentransformasikan nilai-nilai adiluhung kemanusiaan menjadi praksis nyata di bumi.

Hingga saat ini, alhamadulillah sekolah masih dipercaya oleh mayoritas masyarakat sebagai ‘ruang dan waktu’ terjadinya proses-proses manusiawi, pendedahan wadag kemanusiaan dan laboratorium rehabilitasi mental dan spiritual peserta didik, karenanya sebagai pendidik kita tidak diperkenankan mencederai anak didik kita dengan perilaku-perilaku amoral, sesuatu yang selama ini jadi musuh bersama para pendidik kapan dan di manapun. Wallahu a’lam bi al-shawab.

• Guru Tafaqquh fid din MA/MTs Asih Putera Cimahi. Alumnus fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Tinggal di Jln. Cihanjuang no. 199 MA/MTs Asih Putera Cimahi. 081321322955.